SENI RUPA KONTEMPORER
Seni
Kontemporer adalah
salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu
artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan
kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang
tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman
sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya
yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya
lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian,
lebih kreatif dan modern.
Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana pascamodern (postmodern art) dan pascakolonialisme yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art (seni pribumi). Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.
Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana pascamodern (postmodern art) dan pascakolonialisme yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art (seni pribumi). Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.
Secara awam seni kontemporer bisa diartikan
sebagai berikut:
1.
Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas
antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong
kosong, hingga aksi politik.
2. Punya gairah dan nafsu “moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis.
3. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
2. Punya gairah dan nafsu “moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis.
3. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
SENI RUPA KONTEMPORER
Pengertian
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang
seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian,
modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang
sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisan
kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang
sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance.
Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.
Ciri-ciri
*
Tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman.
*
Tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, hingga aksi politik.
Tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman.
*
Tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, hingga aksi politik.
Contoh
Karya-karya happening art, karya-karya
Christo dan berbagai karya enviromental art.
Seniman
1.Kontemporer
Kontemporer adalah
salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu
artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan
kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang
tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisankontemporer adalah karya yang secara tematik
merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui.Mengutamakan kebebasan
berekspresi,dinamis dan tidak terikat aturan.teknologi masa kini dipaukan
dengan seni merupakan ciri khas aliran kontemporer.
2. Realisme
Realisme,di dalam seni rupa berarti usaha menampilkan
subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa
tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu. Maknanya bisa pula mengacu
kepada usaha dalam seni rupa unruk memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa
menyembunyikan hal yang buruk sekalipun.Perupa realis selalu berusaha
menampilkan kehidupan sehari-hari dari karakter, suasana, dilema, dan objek,
untuk mencapai tujuan Verisimilitude (sangat hidup). Perupa realis
cenderung mengabaikan drama-drama teatrikal, subjek-subjek yang tampil dalam
ruang yang terlalu luas, dan bentuk-bentuk klasik lainnya yang telah lebih
dahulu populer saat itu.
· Tokoh:
-
Dullah -
Trubus
- Tarmizi - Karl Briullov
-
Sujoyono - Agus Jaya Suminta -
Suromo - Ford Madox Brown
3.Romantisme
3.Romantisme
Romantisme,Merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern
Indonesia. Lukisan dengan aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis
dan keindahan di setiap objeknya.melukiskan objek yang menyangkut perilaku
kehidupan.Tentang perjuangan,tragedi,cinta kasih. Pemandangan alam
adalah objek yang sering diambil sebagai latar belakang lukisan.Romantisme
dirintis oleh pelukis-pelukis pada zaman penjajahan Belanda dan ditularkan
kepada pelukis pribumi untuk tujuan koleksi dan galeri di zaman kolonia
· Tokoh:
-
Theobore
-
Gerriwult
-
Raden Saleh
4.Surrealisme
Surrelisme Lukisan dengan aliran ini kebanyakan menyerupai
bentuk-bentuk yang sering ditemui di dalam mimpi. Pelukis berusaha untuk
mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu
dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia
tanpa harus mengerti bentuk aslinya.melukiskan suasana yang mencekam lengang
menakutkan serta hal-hal yang fantastis.
· Tokoh:
-
Salvador dalli
- Ifan
Sagita
5. Impresiolisme
Impresionisme,Berusaha menampilkan kesan yang di tangkap dari
objek .berdasarkan kesan cahaya. Yang menjadi masalah dalam hal teknik adalah
Sebagian kaum impresionis sangat mementingkan warna yang di timbulkan oleh bias
cahaya,hasilnya berupa gambar yang tampak melebur cerah.
· Tokoh:
-
- Claude monet
6.Ekspresiesme
Ekspresiesme,Berusaha menampilkan emosional atau sensasi
dari dalam di hubungkan dengan tragedi atau apa yang terjadi. kecenderungan
seorang seniman untuk mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional.Melukis berdasarkan luapan emosi dengan wujud
coretan,garis atau sapuan warna secara spontan.
· Tokoh:
- Fincent van gogh
- Affandi
- Rusli
- Sri Hardi Sudarsono
7.Kubisme
Kubisme,Adalah aliran yang cenderung melakukan usaha
abstraksi terhadap objek ke dalam bentuk-bentuk geometri untuk mendapatkan
sensasi tertentu. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Pablo
Picasso.
· Tokoh:
- Pablo picasso
8.Dadaisme
Dadaisme,Ciri khas dari karya dadaisme
adalah seni yang tidak mau ilusi atau ketiadaan ilusi. Yang kemudian
diungkapkan dalam bentuk main-main, secara sederhana dan kekanak-kanakan.
· Tokoh: - Paul klee
9.Futurisme
Futurisme,menggambarkan objek lukis yang terlihat seperti bergerak .Suatu objek digambarkan beberapa kali secara sama,secara perspektif.
· Tokoh:
- Umberto Boccioni
10. Abstrak
Abstrak,adalah salah satu jenis kesenian kontemporer yang tidak menggambarkan obyek dalam
dunia asli, tetapi menggunakan warna dan bentuk dalam cara
non-representasional. Unsur yang dianggap mampu memberikan sensasi keberadaan
objek diperkuat untuk menggantikan unsur bentuk yang dikurangi
porsinya.Hasilnya berupa komposisi garis,bidang,warna dan unsur-unsur lainya.
· Tokoh:
-
Hans Hartum
-
Zaini
-
Nashar
-
Fajar Sidiq
-
AhmaSadali
-
Amri Yahya
11.Klasikisme/Dekoratif
Klasikisme,Aliran ini berkembang pada abad 19 di
Perancis. Ciri-ciri seni klasikisme antara lain dibuat-buat dan
berlebihan, indah dan molek,dekoratif. Aliran klasikisme mengacu pada
kebudayaan Yunani Klasik dan Romawi Klasik.
· Tokoh:
- Kartono Yudo
Kusumo - Amri Yahya
12. Pointilisme
Pointilisme,adalah gaya melukis dengan menggunakan
sentuhan titik hingga membentuk sebuah objek gambar dan jika dilihat dari jarak
tertentu bias memperlihtakan lukisan yang bersifat realistik,ekspresik, dan
artistik.
Sebelum mengenal lebih jauh mengenai Sejarah
Seni Lukis Kontemporer, maka harus terlebih dahulu menelusuri mulai dari
perubahan dari Seni Lukis itu sendiri, dimana Seni Lukis Kontemporer merupakan
Suatu pelepasan dari Seni Lukis itu sendiri. Seni lukis mulai memperlihatkan
“sikap anehnya” setelah fotografi ditemukan pada abad 19. Beberapa ahli sejarah
seni berpendapat bahwa penemuan fotografi telah mengakhiri otoritas seni lukis
dalam hal “meniru alam”. Konsep art imitating nature dengan sendirinya
mendekati kuburan. Tidak ada seniman gila yang mau bersaing dengan fotografi
dalam hal: kecepatan, ketepatan, keakuratan, dan kemiripan. Masa itu disebut
sebagai masa krisis representasi realitas atau awal penyebab kelahiran seni
lukis modern.
Sejak itu seni lukis mengambil langkah baru untuk
memapankan kembali otoritasnya, yaitu menggambar realitas dengan cara yang
tidak bisa dilakukan fotografi. Paul Cezanne (ini biangnya seni lukis modern)
termasuk yang pertama menerapkan langkah itu dengan melukis efek pencerapan
dari realitas. Dia menggambarkan pandangan subyektif dari realitas dengan
memasuk unsur ketidakpastian di dalamnya. Artinya, persepsi kita terhadap suatu
objek, baik keragaman sudut pandang maupun keraguan apa yang kita lihat
diakumulasikan ke dalam kanvas sebagai konsep menggambar.
Seni lukis modern mengalami krisis pada awal
tahun 1970. Penyebab terjadi krisis ini, antara lain, adalah penciptaan
karya seni lukis menjadi terlalu mudah. Setiap gaya dari sebuah karya yang baru
diciptakan seolah-olah telah ada sebelumnya. Karena penciptaan karya yang
terlalu mudah dan jenis karya seni lukis pun tidak terbatas jumlahnya, maka
timbul kekaburan batas-batas estetika. Sampai akhirnya ada seruan bahwa segala
sesuatu telah sampai pada akhir. Kalaupun praktek seni lukis masih berlanjut maka
semata-mata hanya menampilkan kekosongan makna. Di tengah kekacauan ini seni
lukis kontemporer muncul.
Kemunculan seni lukis kontemporer
ditandai dengan tidak ada lagi aturan atau kategori yang dipakai untuk
menghakimi sebuah karya yang tidak lazim. Aturan-aturan atau kategori-kategori
adalah apa yang dicari oleh karya seni itu sendiri. Seniman berkarya tanpa
aturan untuk menemukan aturan dari apa yang telah dilakukannya.
(Seni Kontemporer Abstraksi)
Seni lukis kontemporer tidak peduli dengan
estetika atau bahkan membuang sama sekali proses estetika. Sering kali
karya-karya seni lukis ini hanya membuat shock penonton daripada kesenangan
estetik. Seni lukis ini terkadang tidak bisa lepas dari ideologi politik dan
diperalat untuk memperjuangkan kepentingan ideologi yang bersifat advokatif.
Akibatnya, banyak karya-karya lukis kontemporer yang hadir dengan penampilan
radikal untuk menarik perhatian. Para seniman seni lukis kontemporer
yakin bahwa seni bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk perubahan sosial.
Begitulah seni lukis berubah wajah dari waktu
ke waktu hingga berwajah seperti sekarang ini. Meskipun demikian ada saja yang
mengapresiasi hingga karya tersebut dapat bertahan hidup. Di sisi lain ada
kekuatan yang bermodal besar yang melegitimasinya menjadi sebuah selera. Tentu
saja selera pasar. Mereka adalah para pedagang seni dan kolektor-kolektornya.
Dengan kreativitas “olah” mereka merubah karya seni menjadi komoditi yang layak
dijual. Yang mengejutkan seniman yang “anti pasar” sekalipun tidak mampu
menolak karyanya dilegitimasi sebagai komoditi. dari dua kekayaan sejarah seni rupa, yaitu
antara sejarah seni tradisi di Ubud yang dikembangkan lewat seniman rupa Bali
turun-temurun, juga sejarah “seni rupa Eropa”.
Kedua latar inilah yang bergabung dalam
perhimpunan seniman Pita Maha di Bali pada tahun 1936, menyatukan nama seniman
Tjokorda Gede Agung Sukawati, Walter Spies dengan Rudolf Bonnet.
Seniman dengan latar belakang berbeda namun
sejiwa ini lalu mempertahankan kualitas seni yang kemudian menjadi ciri khas
seni rupa Bali, sekaligus mengembangkan teknik dan topik baru dalam dunia seni
lukis. Ide dari Pita Maha kemudian ditawarkan kepada seniman generasi muda di
Bali. Mereka juga membantu memperkenalkan karya para seniman muda Ubud-Bali
kepada para pelancong dari mancanegara.
Pada pameran bertajuk “Pioneers of Balinese
Paintings” yang digelar sejak 19 September hingga 23 Oktober di Erasmus Huis,
Jl HR Rasuna Said Kav S-3 Kuningan Jakarta ini, Yayasan Rudolf Bonnet menggelar
60 lukisan koleksi Bonnet sejak tahun 1929-1958. Pameran sebelumnya sempat
digelar juga di Museum Puri Lukisan di Ubud, Bali.
Ketua Yayasan Ratna Wartha, Tjokorda Putra
Sukawati, yang memiliki Museum Puri Lukisan di Ubud hadir pada momen pembukaan
pameran itu. “Rata-rata pelukis Bali ini berkumpul di Ubud. Para seniman dari
Ubud inilah yang banyak mendominasi seni lukis dari Bali,” kata Tjokorda Gede
Putra Sukawati, dalam dialog dengan SH, Kamis (18/9).
Menurut Tjokorda, tempat kumpul yang sama
inilah yang banyak mempengaruhi kesamaan gaya dan tekstur dari lukisan-lukisan
yang ditampilkan pada pameran kali ini. Dari sekian banyak pelukis yang ada di
Ubud itu, I Gusti Nyoman Lempad adalah seorang yang paling menonjol. Selain
sebagai pelukis Bali yang legendaris, Lempad juga dikenal sebagai undagi,
perencana bangunan tradisional, dan sangging, pembuat perangkat untuk upacara
Ngaben.
Lempad dilahirkan di Bedahulu tahun 1862, dan
meninggal pada 9 Mei 2008. Pada tahun 1970, Lempad mendapat Anugerah Seni dalam
bidang seni lukis dari Pemerintah Indonesia dan penghargaan Dharma Kusuma dari
Pemda Bali tahun 1982. “Di Leiden sendiri, nama Lempad sudah cukup dikenal,”
tambah Ketua Yayasan Rudolf Bonnet, Pienke Kal.
Masyarakat yang sudah pernah menyaksikan koleksi
Bonnet, menurut Pienke, pasti akan menyatakan kekagumannya terhadap karya
Lempad. Seperti halnya pelukis Bali yang lain, Lempad tidak banyak bermain
warna di dalam karya-karyanya. Lukisan-lukisannya kebanyakan “hanya”
menggunakan tinta hitam-putih. Untuk temanya sendiri, Lempad banyak melukiskan
kegiatan masyarakat sehari-hari.
“Satu ciri yang menjadi kekhasan karya-karya
Lempad adalah bahwa dari tema keseharian tersebut, Lempad selalu menampilkan
suasana yang gembira dalam lukisan-lukisannya,” kata Pienke. Bahkan, senyum
sebagai simbol kegembiraan tidak hanya ditampilkan pada gambar-gambar orang,
tetapi juga pada gambar hewan yang ada di lukisannya. Seperti pada Two Farmers
and Bullocks, Lempad melukiskan dua petani yang sedang mengendarai pedati yang
ditarik kerbau. Baik petani maupun kerbaunya digambarkan dengan senyum yang
riang.
Demikian juga pada The God Siwa and His Son
Kala. Meskipun menampilkan tema religius dengan makna yang mendalam, Lempad
tetap tidak lupa menampilkan senyum yang riang pada tokoh-tokoh yang ada di
sana, Dewa Siwa dan Putranya, Kala. “Dengan tema kegiatan sehari-hari, Lempad
ingin mengajak kita untuk tetap optimistis dan tetap gembira di dalam menjalani
hidup,” kata Pienke.
Keseluruhannya, ada empat karya Lempad yang
dipamerkan, yaitu The God and His Son Kala, Family Scene, Two Farmers and
Bullocks, dan Malem-Servant of The Pandawas. Menurut Pienke, keempatnya
mempunyai popularitas yang sama di Leiden. Semua karya disukai banyak penikmat
lukisan.
Pameran para pelopor lukisan modern Bali yang
diprakarsai oleh Yayasan Rudolf Bonnet di Belanda ini juga dilakukan dalam
rangka memperingati 50 tahun berdirinya Museum Puri Lukisan di Ubud. Sebuah
tarikan sejarah panjang yang mewarnai seni rupa Nusantara dan seni rupa di
dunia, kembali digoreskan.
lihat juga artikel dibawah ini
Arus Figur, Demam Kreatif Seniman Bali
Oleh Putu Wirata
Pelukis-pelukis Ubud tahun 1930-an misalnya,
masuk dalam Pita Maha yang sedang gencar melakukan eksperimen dibawah motor
trio Walter Spies, Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gde Agung Sukawati, sebuah eksperimen
dan eksplorasi yang tidak hanya menghasilkan pelukis-pelukis tradisional yang
masuk pada tema-tema baru dalam karyanya, tetapi malah menghasilkan orang yang
kreativitasnya benar-benar menyempal dari arus besar Pita Maha, seperti yang
tampak pada Gusti Lempad ataupun pematung Cokot.
Selanjutnya, anak-anak muda, mahasiswa ISI
(waktu itu ASRI) Yogyakarta asal Bali yang menghimpun diri dalam Sanggar Dewata
Indonesia-lazimnya disebut Sanggar Dewata saja-pada tahun 1970-an, dimana
berkumpul Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Wayan Sika, Pande Gde Supada, dan
lain-lain, menyerap gagasan modern tentang kreativitas berkesenian, tetapi
tidak mau meninggalkan akar budayanya yang lekat kuat, sejak mereka lahir dan
dibesarkan. Hanya beberapa tahun Made Wianta mengundurkan diri dari Sanggar
Dewata, konon karena perbedaan faham dengan Nyoman Gunarsa. Namun, kelak kedua
nama ini tumbuh menjadi nama yang diperhitungkan dalam tataran seni rupa
kontemporer di Bali maupun Indonesia. Kelak Sanggar Dewata menjadi salah satu
”kantung” kreativitas, yang terlepas dari berbagai dinamika internal yang ada,
telah melahirkan sejumlah nama kuat seperti Nyoman Erawan, Nyoman Sukari, Pande
Ketut Taman, Nyoman Masriadi, dan sebagainya.
Namun, kendati ketika Sanggar Dewata lahir
sempat menjadi polemik di seputar identitas ke-Bali-an, munculnya
”sub-eksplorasi” macam karya-karya Taman dan Masriadi, sampai sejauh ini masih
berlangsung dalam dinamika yang gejolaknya dapat dirasakan secara estetis.
Identitas ke-Bali-an perlahan-lahan tidak lagi menjadi wacana yang menarik,
manakala migrasi seniman-seniman luar Bali menjadikan alam seniman kontemporer
di Bali semakin pluralistik. Seniman-seniman Bali maupun kalangan pecinta seni
di Bali, misalnya, tidaklah bisa tidak menarik napas pada karya-karya Piter
Ditmar yang mengangkat ikon-ikon Budhis dalam ekspresi yang sangat kontemporer.
Atau karya-karya Marc Jurt yang pernah dipamerkan di Agung Rai Museum, yang
dengan teknik woodcut melakukan eksplorasi tematik pada aneka macam sesajen,
detail arsitektur Bali, sawah-sawah, sungai maupun gunung gemunung Bali yang
bisa dirasakan kehangatan dan kemesraannya. Perdebatan di seputar identitas
ke-Bali-an, dengan sendirinya telah tenggelam oleh iklim plural yang muncul
secara alamiah.
Namun, energi kreatif para seniman memanglah
bukan sesuatu yang bisa diredam. Paska periode abstrak ekspresionis dengan
ikonografi Bali pelukis Sanggar Dewata telah melahirkan Pande Taman dan
Masriadi, yang dengan segera menebarkan semangat eksplorasi pada ladang yang
sama: eksplorasi figur-figur. Taman dan Masriadi tengah berada dalam rangkaian
gerbong kereta api yang bergerak maju, dimana di gerbong depannya ada Gunarsa,
Wianta, Erawan, Sukari, Djirna, dan lain-lain.
Tidaklah sedikit perupa-perupa muda Bali yang
tengah dilanda oleh semangat eksplorasi pada figur-figur itu, demam yang
seakan-akan berlanjut dari beberapa kali Phillip Moris Indonesia Art Award,
dimana yang masuk dalam nominasi, lazimnya karya-karya dengan tema-tema figur,
entah mengangkat kritik sosial ataupun tema-tema lainnya. Rangkaian dari
gejala-gejala ini memang bisa menimbulkan tuduhan, seakan-akan ”demam figur”
tengah berjangkit pada seniman-seniman muda. Namun, mungkin akan lebih bijak
untuk melihat ”demam figur” ini sebagai representasi dari eksplorasi diri masing-masing
seniman. Karena, gejolak pencaharian agaknya tengah melanda banyak seniman,
setelah satu generasi eksistensi Sanggar Dewata, yang telah mendeklarasikan
satu ekspresi modern tanpa meninggalkan lambang-lambang budaya lokalnya, yang
dalam hal ini budaya Bali. Nyoman Gunarsa yang sudah melambung sebagai seniman
dengan julukan ”si tangan emas”, dengan Museum Seni Lukis Klasik Nyoman
Gunarsanya di Klungkung, toh tetap memerlukan lambang-lambang baru, dengan
menyelenggarakan pameran millenium di beberapa museum besar di Bali menjelang
akhir tahun 1999 yang lalu. Made Wianta yang sudah kesohor masih perlu
menancapkan satu perlambang baru dengan menggelar Art and Peace di pantai
Padanggalak, Sanur, menyongsong milenium ketiga, tahun 2001.
Andaikan kita ini boleh bersedih menyaksikan
dinamika kaum seniman belakangan ini, terjadi pergeseran makna yang sangat
mendalam dalam eksplorasi mereka. Wacana seniman-seniman Bali tahun 1930-an
rahim dan lingkungan budaya Pita Maha-lah yang melahirkan Gusti Ketut Kobot, Gusti
Nyoman Lempad sampai pada Cokot, Nyana, dan lain-lain. Di tahun 1970-an sampai
1990-an, lingkungan Sanggar Dewata melahirkan Gunarsa, Wianta, Erawan, Taman,
sampai Masriadi. Maka, memasuki milenium ketiga ini, yang terjadi adalah
dobrakan-dobrakan yang secara kreatif mengguratkan warna muram pada cakrawala
seni rupa kontemporer di Bali. Gerakan yang menamakan dirinya Mendobrak
Hegemoni muncul dari Kamasra (keluarga mahasiswa seni rupa STSI Denpasar) pada
tahun 2000, satu dobrakan yang coba mengobrak-abrik bangunan budaya yang telah
dihasilkan sebelumnya: Pita Maha, Sanggar Dewata, galeri-galeri, museum-museum,
media massa, kritikus, jurnalis seni, seniman-seniman yang dianggap master dan
sebagainya. Dobrakan pelukis muda dari Kamasra ini dilangsungkan dalam sebuah
pameran yang digelar di lapangan Puputan Badung, mengobrak-abrik
pelukis-pelukis yang sudah dianggap maestro (Gunarsa, Wianta, Erawan, Chusin,
Sika), galeri-galeri, Sanggar Dewata, museum, kurator, art dealer, jurnalis
seni rupa, kritikus, dan sebagainya, seakan-akan seluruhnya hanyalah ”sampah
tak berguna”. Dobrakan mereka seperti hendak meniadakan seluruh akumulasi
historis dari penciptaan, satu dobrakan radikal yang hendak membangun dari nol!
Dua tahun setelah deklarasi Mendobrak Hegemoni
yang menghebohkan itu, memang belum menstimulasi satu kreativitas baru.
Sementara gerak-an Mendobrak Hegemoni tengah mengalami ”masa inkubasi” – satu
tahapan menuju pencapaian berikutnya, hancur lebur atau tumbuh sebagai sosok
yang lebih mantap-di Ubud, seniman Made Wiradana dan kurator Gde Putu Jaya
mengejutkan dengan Deklarasi Akhir Tahun 2001, satu pernyataan terbuka bahwa
Wiradana merasa pas berada pada jalur posmodernisme. Walaupun Putu Gde Jaya
membabarkan argumen estetik dan filosofis dari deklarasi itu dengan referensi
yang tidak bisa disangkal kehebatannya, orang dengan mudah mengentengkannya
sebagai pernyataan yang sangat terlambat karena gerakan posmodern telah
dilontar-kan oleh seniman-seniman Amerika sekitar 30-an tahun silam. Lagi pula,
dengan menjadi anggota Sanggar Dewata-bahkan sekarang ini ia menjadi
ketuanya-Made Wiradana sesungguhnya sudah mendeklarasikan diri berada dalam
pusaran pluralisme kultural yang menjadi semangat kaum posmodernis.
Namun, walau gerakan Mendobrak Hegemoni belum
mendobrak apa-apa dan Deklarasi Akhir 2001 Wiradana tidak menawarkan konsep
orisinal yang sesungguhnya, khalayak seni rupa masih bisa memetik hikmah dari
spirit gerakan mereka: hasrat untuk berkreasi dan semangat untuk menghasilkan
sesuatu yang orisinal serta mempertanyakan apa yang sudah kuat bercokol sebagai
mainstream. Ibarat Gunung Mandara Giri yang tengah diputar oleh dua kekuatan
dahsyat untuk mencari tirta sanjiwani, kreativitas penciptaan seni rupa agaknya
tengah bergemuruh dalam pusaran yang dinamis itu, dimana seniman-seniman
melakukan pencaharian dengan segala daya cipta mereka. Ada yang kebablasan dan
terjatuh, ada yang terjatuh tapi bangun lagi dan berkarya lagi.
TAHUN
AJARAN 2012/2013
PENDAHULUAN
Puji dan syukur kita panjatkan atas
kehadirat Allah swt.yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua. Dan tak
lupa pula kita mengirimkan salawat atas junjungan Nabi Besar Muhammad saw. yang telah mengangkat derat manusia dari
lembah yang hina ke lembah yang mulia.
Pembuatan makalah ini akan membahas
tentang “ SENI RUPA KONTMPORER “. Bertujuan untuk mengetahui pengertian seni
kontemporer dan kontemporer sendiri,ciri-ciri kontemporer dan jenis-jenis seni
yang termaksud seni rupa kontemporer.
Alhamdulillah,makalah selesai dengan
baik dan memuaskan. Mohon maaf bila ada kesalahan yang terjadi baik cara
penulisan maupun penjelasan yang tertera di dalam. Kritik dan saran merupakan
ungkapan bersifat membangun untuk penulis.
PENULIS

Tidak ada komentar:
Posting Komentar